Gelora Tjoet Nja'
Dhien
Cut Nyak Dhien : Maghfiroh Hanif Annisa
Cut Nyak Meutia : Latifah Sonia B
Bloem van Mooi : Sekar Anindya
Jan van Swieten : Andri
Kurniawan
Teuku Umar : Farid Munadi
Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga
bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar,
wilayah VI Mukim pada tahun 1848.
Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia,
seorang uleebalang
VI Mukim, yang juga merupakan
keturunan Datuk
Makhudum Sati, perantau dari
Minangkabau. Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang
cantik. Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua
ataupun guru agama)
dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan
sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka
pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah
dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek
Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak
laki-laki.
Jan van Swieten : “Aceh memang cukup tangguh.”
Bloem van Mooi : “Ya, memang Komandan. Sepertinya kita harus mengambil tindakan”
Jan van Swieten : “Tindakan katamu? Haha. Itu sangat mudah”
Bloem van Mooi : “Apa maksud anda Komandan?”
Jan van Swieten : “Bukankah persenjataan kita cukup canggih? Apapun
bisa kita
lakukan”
Bloem van Mooi : “Meriam? Bagaimana jika kita
menembakkan meriam ke Aceh?”
Jan van Swieten : “Bagus juga, tak sia sia
aku mempunyai pendamping strategi sepertimu. Lakukanlah.”
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda
menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh
pun meletus.
Cut Nyak Meutia : “CUT NYAK DHIEN!”
Cut Nyak Dhien : “Ada apa, Meutia?”
Cut Nyak Meutia : “Aku melihat suamimu
pergi bersama pasukan Aceh.”
Cut Nyak Dhien : “Pasukan Aceh? Apa ini
ada hubungannya dengan Belanda?”
Cut Nyak Meutia : “Sepertinya, karena aku
dengar dari suamiku belanda melepaskan
meriam!”
Cut Nyak Dhien : “Mari kita tenangkan warga. Jangan sampai warga panik karena
berita ini.”
Kesultanan
Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang mbertarung
di garis
depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak
Jan van Swieten : “Kematian Kohler memang menguntungkan untukku. Lihatlah diriku,
telah menjadi Jenderal sekarang.”
*Bloem masuk*
Bloem van Mooi : “Kita perlu strategi baru.”
Jan van Swieten : “Bloem, kau meminta usulan strategi dariku? Bukankah tugasmulah
yang membuat strategi dan aku yang menyetujuinya?”
Bloem van Mooi : “Saya hanya bertanya pada Jenderal saya yang merupakan mantan
pengatur strategi. Pengatur strategi yang hebat”
Jan van Swieten : “Hahaha. Aku tau… aku tau aku hebat. Baiklah, aku akan
memberikanmu ide yang cukup membuat Aceh menderita.”
Bloem van Mooi : “Ide apa itu, Jenderal?”
Jan van Swieten :”Kita lihat saja.”
Di bawah pimpinan Jan van Swieten, daerah VI
Mukim dapat diduduki oleh Belanda.
Pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan
jatuh pada tahun 1874.
Cut Nyak Meutia : “Assalamualaikum”
Cut Nyak Dhien : “Waalaikumsalah. Ada apa lagi, Meutia?”
Cut Nyak Meutia : “Ayo kita pergi sekarang!”
Cut Nyak Dhien : “…..”
Cut Nyak Meutia : “Ayolah, Ibu-ibu dan rombongan lain sudah mulai mengungsi.
Bawa anakmu dan kita pergi
Cut Nyak Dhien : “Suamiku…”
Cut Nyak Meutia : “Dia berjuang untuk Aceh.”
Cut Nyak Dhien : “Baiklah.”
Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi
bersama ibu-ibu dan rombongan
lainnya. Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di
Gle Tarum, ia tewas. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah. Dan bersumpah
akan menghancurkan Belanda.
Cut Nyak Dhien : “KURANG AJAR! AWAS KAU BELANDA!! KAU TELAH MEMBUNUH SUAMIKU! AKAN
KUHABISI KAU DENGAN TANGANKU! AKU AKAN MENGHANCURKANMU! AKU AKAN
MENGHANCURKANMU! (terduduk kemudian menangis)
2 tahun kemudian,
Cut Nyak Meutia : “Kau harusnya tersenyum sekarang.”
Cut Nyak Dhien : “Aku sudah tua begini masih saja ada yang tertarik denganku. “
Cut Nyak Meutia : “Kau harusnya senang akan hal itu.”
Cut Nyak Dhien : “Bagaimana bisa aku senang?”
Cut Nyak Meutia : “Sudahlah, dia telah menunggumu.”
*pergi ke ruang tamu*
*duduk*
Teuku Umar :
“Perkenankan saya memperkenalkan diri. Saya Teuku Umar.”
Cut Nyak Dhien : “Saya tau.”
Teuku Umar :
“Saya hendak melamar engkau, Cut Nyak Dhien.”
Cut Nyak Dhien : “Untuk apa?”
Teuku Umar :
(muka heran)
Cut Nyak Dhien : “Maaf, tapi aku tak bisa menerima Anda.”
Teuku Umar :
“Cut Nyak Dhien, kau memang wanita
tangguh, pemberani, dan juga kokoh dalam pendirian. Ketika kau menikah denganku
nanti, aku akan memperbolehkanmu ikut dalam medan perang. Dengan begitu, kau
bisa menghancurkan Belanda dengan tanganmu sendiri.”
Cut Nyak Dhien : “Baiklah. (berdiri) Aku akan menerimamu. Dengan persyaratan kau
benar-benar menepati omonganmu tadi. Saya permisi. (pergi)
Akhirnya, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku
Umar pada tahun 1880. Mereka
dikaruniai anak
bernama Cut Gambang. Perang dilanjutkan secara gerilya, dan dikobarkan perang
fisabilillah. Teuku uamr melakukan sebuah taktik.
Cut Nyak Dhien : “Itu taktik yang cukup bodoh, suamiku.”
Teuku Umar :
“Tidak, ini taktik yang sudah kupikirkan sejak lama. Aku melakukan ini untuk
Aceh. Percayalah padaku. Aku takkan menghianati Aceh.
Cut Nyak Dhien : “Tapi Teuku Umar…”
Teuku Umar :
“Lihatlah sekarang. Aku berhasil sedekat ini dengan Belanda. Aku bisa membodohi mereka. Percayalah padaku.”
Cut Nyak Dhien : “Aku percaya padamu. Lakukanlah apa yang harus kau lakukan.”
Keesokannya, Teuku Umar dan pasukannya yang
berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja
dan menyerahkan diri kepada Belanda.
Sampai disana,
Jan van Swieten : “Teuku Umar, Teuku Umar. Suatu kehormatan bagiku kau datang
kesini.
Teuku Umar :
“Aku datang kesini bersama 250 pasukanku.”
Bloem van Mooi : “Apa maksudmu? Apa yang ingin kau lakukan?”
Teuku Umar :
“Aku ingin menyerahkan diriku, dan menyerahkan pasukanku.”
Jan van Swieten : “Akan kuterima dirimu, dan pasukanmu dengan penuh kehormatan,
Teuku Umar. Bloem suruh mereka pergi ke aula. Aku akan menemuinya. Setelah itu,
kau ikut denganku.”
Bloem van Mooi : “Pergilah ke aula, Teuku Umar. Kami akan menemuimu.”
(Teuku Umar pergi)
Jan van Swieten : “Hahaha, musuh yang sangat mudah. Kukira akan lebih sulit
menaklukkan mereka.”
Bloem van Mooi : “Benar Jenderal. Kita harus membuat rakyat Aceh terbakar
amarahnya.”
Jan van Swieten : “Apa maksudmu, Bloem?”
Bloem van Mooi : “Kita harus membuat Teuku Umar sangat terhormat disini. Itu akan
membakar amarah rakyat Aceh.”
Jan van Swieten : ‘Baiklah, berikan aku idemu.”
Bloem van Mooi : “Angkatlah Teuku Umar sebagai komandan unit pasukan Belanda dengan
kekuasaan penuh.”
Jan van Swieten : “Kekuasaan penuh… Sungguh ide yang luar biasa.”
Belanda sangat senang karena musuh yang
berbahaya mau membantu mereka, sehingga
mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar
Johan Pahlawan dan menjadikannya
komandan unit pasukan Belanda dengan
kekuasaan penuh.
Di pengungsian…
Cut Nyak Meutia : “Suamimu hebat, sekarang dia memimpin pasukan kita. Aku
harap Belanda akan hancur.”
Cut Nyak Dhien : “Iya.”
Cut Nyak Meutia : “Apa kau sudah tau apa yang akan dilakukan oleh suamimu
pada Belanda?”
Cut Nyak Dhien : “A…aku tidak tau.”
Cut Nyak Meutia : (tersenyum) “Bagaimana kau ini Cut Nyak Dhien? Harusnya
suamimu memberitahumu.”
Cut Nyak Dhien : “Tapi dia tidak-“
Cut Nyak Meutia : “Pasti dia memberitahumu.”
Cut Nyak Dhien : (terdiam)
Cut Nyak Meutia : “Kenapa kau terdiam?”
(Teuku Umar datang)
Cut Nyak Meutia : “Selamat Siang, Teuku Umar.”
Teuku Umar :
“Selamat siang, Cut Nyak Meutia. Bolehkan aku meminjam Cut Nyak Dhien
sebentar?”
Cut Nyak Meutia : “Mengapa kau mengatakan hal itu padaku? Aku akan pergi. Cut
Nyak Dhien, aku pergi dulu. Silakan, berbicaralah.”
(Cut Nyak Meutia pergi)
Teuku Umar :
(mengecek apakah Cut Nyak Meutia sudah pergi) “Kau memberitahunya?”
Cut Nyak Dhien : “Tidak. Aku harap dia tidak tahu.”
Teuku Umar :
“Bagaimanapun, dia akan tahu. Dia anak seorang petinggi dulu. Informasi apapun
pasti dia tahu.”
Cut Nyak Dhien : “Aku ingin dia tak tahu.”
Teuku Umar :
“Sudahlah, kita melakukan ini untuk Aceh.”
Cut Nyak Dhien : (mengangguk)
Teuku Umar, masih
terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik
Belanda. Sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit
yang dia kuasai.
Karena merahasiakan
rencana itu, Teuku umar dan Cut Nyak Dhien dituduh sebagai penghianat oleh
orang Aceh.
(Cut Nyak Dhien
sedang duduk)
(Cut Nyak Meutia
datang)
Cut Nyak Meutia : (datang sambil berteriak dari
kejauhan) “PENGHIANAT! SUNGGUH
KAU DAN SUAMIMU ADALAH PENGHIANAT, CUT NYAK DHIEN!!!!!!”
Cut Nyak Dhien : “Sopankan suara kau, aku lebih tua darimu.”
Cut Nyak Meutia : “Untuk apa aku bersikap sopan pada penghianat? KENAPA CUT
NYAK DHIEN?! Sekarang berikan
aku kesempatan bertanya padamu.
Dimana rasa hormatmu pada suami pertamamu yang hingga meninggal, membela rakyat
Aceh! Dan sekarang kau menghianatinya!”
Cut Nyak Dhien : (diam)
Cut Nyak Meutia : “Kenapa kau terdiam Cut Nyak Dhien? Dimana mulutmu? DIMANA
SUMPAH YANG KAU UCAPKAN DENGAN MULUTMU ITU? SUMPAH MENGHANCURKAN BELANDA DENGAN
TANGANMU! DIMANA CUT NYAK DHIEN?
Cut Nyak Dhien : “Apa aku harus menjawabnya?”
Cut Nyak Meutia : (Tersenyum kecut) “Cut Nyak Dhien,
dulu aku mengira kau adalah wanita aceh yang pemberani dan tangguh. Tapi
sekarang, kau bahkan terlalu rendah, sangat rendah untuk dikatakan seperti itu.
Kenapa Cut Nyak Dhien? Apa salah rakyat aceh padamu?”
Cut Nyak Dhien : “Pergilah, Meutia”
Cut Nyak Meutia : “Baik, aku akan pergi. Terima kasih
Cut Nyak Dhien, atas penghianatanmu” (pergi)
*Cut Nyak Dhien
pergi menemui Teuku Umar*
Cut Nyak Dhien : “Assalamualaikum”
Teuku Umar : “Waalaikumsalam, ada apa Cut Nyak
Dhien?”
Cut Nyak Dhien : “Sebaiknya hentikan rencana itu.”
Teuku Umar : “Kenapa?”
Cut Nyak Dhien : “Aku tak mau rakyat aceh mengira kita adalah
penghianat. Kita bisa berhenti melakukan rencana ini. Kita bisa melawan Belanda
tanpa harus pura-pura bersekutu dengan mereka. Itu sangat menjijikan”
Teuku Umar : “Istriku, Cut Nyak Dhien. Rakyat aceh
tak lama lagi akan tahu apa maksud kita sebenarnya. Rencanaku sudah mendekati
berhasil. Aku sudah mempelajari taktik belanda juga sudah mengumpulkan pasukan
aceh. Kita tinggal menunggu hari itu. Bersabarlah”
Cut Nyak Dhien : “Maafkan aku suamiku karena mengeluh seperti
ini”
Teuku Umar : “Percayalah, selagi kita di jalan yang
benar. Allah akan selalu ada di samping kita”
Cut Nyak Dhien : (tersenyum)
Keesokan
harinya, Teuku Umar melakukan rencana palsunya pada belanda
Teuku Umar : (menemui belanda) “Hari ini aku akan
menyerang basis Aceh”
Jan van Swieten : “Apa kau sudah yakin dengan ucapanmu, Teuku
Umar.”
Teuku Umar : “Saya sudah yakin, Jenderal”
Bloem van Mooi : “Kau sudah mempersiapkan dengan matang? Tentu
kami tak akan mendengar kekalahan kan?”
Teuku Umar : “Saya tidak akan berani bertindak jika
semuanya belum siap”
Jan van Swieten : “Baiklah, lakukan penyerangan ini dengan
sebaik mungkin”
Teuku Umar dan
Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat,
Senjata, dan
amunisi belanda. Lalu, tidak pernah kembali.
Jan van Swieten : “KURANG AJAR!” (memukul meja) “Bisa-bisanya
aku ditipu oleh Teuku Umar!, aku tak bisa membiarkan ini Bloem!”
Bloem van Mooi : “Tentu, kita harus melakukan pembalasan, Jenderal.
Kita jangan mau dikatakan lebih bodoh dari rakyat aceh.”
Jan van Swieten : “Benar, kita tidak bisa dibodohi mereka!
Bloem, cepat lakukan operasi besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar dan
istrinya. (senyum licik)”
Namun,
gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka
mulai menyerang
Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti.
J.B van Heutsz : “Jan van Swieten memang tidak
becus dalam hal ini.”
Bloem van Mooi : “Jenderal, saya mendapat beberapa
informasi”
J.B van Heutz : “Baik, berikan aku apa yang kau punya”
Bloem van Mooi : “Pasukan Aceh terus menekan kita. Mereka sudah menyerang
Kutaraja dan Meulaboh.”
J.B van Heutz : “Begitu ya, sepertinya kita perlu mengirimkan
sesuatu ke Aceh”
Bloem van Mooi : “Apa itu, Jenderal?”
J.B van Heutsz : (tersenyum licik) “De
Marsose”
Bloem van Mooi : “Apa, Jenderal?” (kaget)
Pasukan De
Marsose merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di
jalannya. Namun, pasukan ini
dibubarkan karena rasa simpati pasukan belanda. Peristiwa ini menyebabkan
kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan
jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.
Bloem van Mooi : “Sekarang Aceh pasti sudah dilanda
ketakutan”
J.B van Heutsz : “Ya, kau benar. Tapi kita tak bisa
hanya berhenti sampai disini”
Bloem van Mooi : “Maksud Jenderal, Jenderal masih
punya suatu rencana?”
J.B van Heustz : “Sewa orang Aceh yang bukan
termasuk pasukan pemerontak.”
Bloem van Mooi : “Baik, Jenderal. Tapi, apa yang akan
kita lakukan padanya?”
J.B van Heustz : “Suruh dia memata-matai pasukan
pemberontak. Pastikan dia
memberiku
informasi yang berharga, bukan sampah.”
Bloem van Mooi : “Akan saya usahakan, Jenderal. Saya
permisi.”
*beberapa hari
kemudian*
Bloem van Mooi : “Saya telah mendapatkan informasi
dari informan Aceh yang kita sewa
kemarin.”
J.B van Heutsz : “Apakah, informasi itu berharga
atau hanya sampah?”
Bloem van Mooi : “Ini adalah informasi yang sangat
berharga. Kau akan senang ketika
mendengarnya.”
J.B van Heutsz : “Katakanlah.”
Bloem van Mooi : “Tanggal 11 Februari, Teuku Umar akan
melakukan penyerangan ke
Meulaboh.”
J.B van Heutsz : “Bagus, itu adalah informasi yang
sangat berharga untukku.
(tersenyum
licik) Teuku Umar, Teuku Umar. Sepertinya balasan dari
Belanda
yang sesungguhya baru akan tiba.
Di tempat Cut
Nyak Dhien
Cut Nyak Meutia : “Aku berharap penyerangan ini
berhasil. Melihat dari kesiapanmu
Teuku
Umar, aku yakin ini berhasil.”
Teuku Umar : “Doakan saja kami, minta
pertolongan Allah agar diberi kemudahan.”
Cut Nyak Dhien : “Itu pasti. Kau harus berhati-hati.
Berjanjilah.”
Cut Nyak Meutia : “Sebaiknya aku tidak disini. Aku
permisi dulu. Assalamualaikum”
TU dan Cut ND : “Waalaikumsalam”
Teuku Umar : “Cut Nyak Dhien, jagalah warga
Aceh dengan baik. Rawat anak kita
sehingga
dia tumbuh menjadi wanita yang sepertimu kelak.”
Cut Nyak Dhien : “Apa maksud kau berkata seperti
ini?”
Teuku Umar : “Tidak apa-apa (tersenyum) ayo
kita sholat dulu, sudah waktu isya’”
Tetapi, karena
Belanda sudah mengetahui lebih dulu rencana Teuku Umar, Belanda dapat membunuh
Teuku Umar.
Cut Nyak Dhien : “Ada apa? Kenapa kau medatangiku?”
Cut Nyak Meutia : “Aku minta maaf Cut Nyak Dhien. Tapi,
suamimu...”
Cut Nyak Dhien : “Kenapa dengan suamiku? Apa yang
terjadi dengannya?”
Cut Nyak Meutia : “Teuku Umar gugur tertembak
peluru”
Cut Nyak Dhien : (terdiam)
*Cut Gambang
datang*
Cut Gambang : “Tidak! Anda pasti salah! Abu saya pasti
belum meninggal! Tidak
(menangis)
Cut Nyak Dhien : “Cut Gambang” (menampar lalu memeluk) “Sebagai perempuan
Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid.”
Cut Nyak Dien
lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman
Meulaboh
bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya.
Selain itu,
Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena
penyakit
encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh
makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.
Cut Nyak Dhien : “Aku baik-baik saja Pang Laot”
Pang Laot : “Maukah anda saya ambilkan
minum dan makan?”
Cut Nyak Dhien : “Tidak usah.”
Pang Laot : “Kalau begitu, sebaiknya
anda banyak beristirahat”
Cut Nyak Dhien : “Jika aku terlalu banyak
beristirahat, rakyat Aceh bisa banyak yang
terbunuh.”
Pang Laot : (berdiri)
Cut Nyak Dhien : “Mau kemana kau, Pang Laot?”
Pang Laot : “Saya akan pergi. Tapi
saya akan segera kembali, semoga anda senang
ketika
saya kembali.
Cut Nyak Dhien : “Baiklah.”
Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas
Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian.
Cut Nyak Dhien : “Cut Gambang! Cut Gambang!”
Cut Gambang : “Ada apa, Mak?”
Cut Nyak Meutia : “Cut Nyak Dhien, kau tidak apa-apa?”
Cut Nyak Dhien : “Meutia, bawa anakku pergi dari
sini! Kumohon!”
Cut Nyak Meutia : “Tidak. Aku tak akan meninggalkanmu”
Cut Nyak Dhien : “Pergilah! Kumohon pergilah (sambil
mendorong) pergi! Ini untuk
Aceh,
Meutia!”
Cut Nyak Meutia : “Ayo Cut Gambang.”
Cut Gambang : “Tidak, tidak. Mak! Mak!”
(Cut Nyak Meutia
dan Cut Gambang sudah menjauh)
Cut Nyak Dhien : “Aku tak akan membiarkanmu, Belanda
(mengambil rencong)”
J.B van Heutsz : (memegang Cut Nyak Dhien) “Kau
sudah tua, dan tak akan bisa
melawan
lagi Cut Nyak Dhien! Bawa dia prajurit!”
Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil
melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh
ayah dan ibunya.
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal
karena usianya yang sudah tua.
ini bagus bgt dramanya :)
BalasHapusmampir k blog aku ya
Bagus konsep dramanya....
BalasHapusKak bisa bantu kasi tau cara buat awal perang nya ??
BalasHapusWoow...naskah drama nya bagus,dan menarik banget
BalasHapusWoow...naskah drama nya bagus,dan menarik banget
BalasHapusTerimakasih sudah membuat naskah drama bertema sejarah, anda sangat menginspirasi
BalasHapusTerima kasih karena telah membantu saya mengerjakan tugas dengan naskah drama sejarah yaitu tentang pahlawan Aceh kita CUT NYAK DHIEN
BalasHapusBagus sekali dramanya. Siapa penciptanya? 🙏
BalasHapusSiapa penulisnya? Bagus banget ceritanya. Izin ya untuk di pakai dalam pementasan teater kami. Terima kasih
BalasHapusSIUUUUUUUUU
BalasHapussiuuuuuuuuuukentk
BalasHapus